Orator Cuci Piring
IDENTITAS (Pernah) Dua Wajah (7 selesai)
Oleh Maqbul Halim
Pada momen Bantimurung, ada semacam ruang membandingkan antara statusku sebagai reporter magang dan tanggung jawabku berhadapan dengan polisi dan tentara waktu itu. Saya menganggap itu bukan ujian, tapi keasyikan melayani Identitas di teras depan. Selain itu, dan seiring waktu yang mengharuskanku mejalani proses reporter magang, saya merasa sedang menapaki anak tangga yang tidak menanjak. Bagaimana tidak, saya mempersepsi diriku waktu itu sebagai aktivis mahasiswa yang sedang moncer di catwalk Mimbar Bebas kampus. Saya diberi julukan podium "Makcbulatov". Beberapa senior aktivis mahasiswa keceplos memujiku, sebagai aktivis mahasiswa yang sedang naik daun (bukan ulat ya). Nyatanya, selama berbulan-bulan, kami justru mendapatkan tugas mencuci piring dan gelas kotor.
Di kantor Identitas lantai VI rektorat, tidak ada sofa, atau semacam ruang tamu. Yang ada hanya meja kerja khusus untuk komputer PC yang waktu itu masih CPU desktop yang bentuknya seperti batu bata, monitor kompoter diletakkan di atasnya, keyboard di depan CPU. Itulah sebabnya, jumlah meja di kantor Identitas lantai 6 hanya dua, mengikuti dua unit jumlah komputer PC. Tak ada ruangan khusus untuk rapat, apalagi meja rapat yang dikelilingi kursi. Rapat hanya duduk bersila atau duduk di lantai berkarpet kasar warna hijau pekat, seperti orang yang duduk berbaris melingkar mengelilingi api unggun.
Usai rapat, saya dan reporter magang lainnya diberi tanggung jawab untuk merapikan piring dan gelas yang telah dipakai, serta sampah usai rapat ditutup dan bubar. Toilet dan tempat cuci piring berjarak 20 meter dari ruangan kantor Identitas, melintasi ruang lain yang masih kosong. Di toilet cukup luas itu, ada sekat yang dipartisi khusus untuk menyimpan peralatan kerja janitor, dan tempat inilah yang disetting Identitas untuk menjadi tempat untuk mencuci piring dan gelas yang telah dipakai, dan mengeringkannya. Salma dan Ika paling sering sibuk di tempat ini, dan sesekali saya turun tangan membantu jika volume pekerjaan cuci piring lebih besar dari biasanya. Oh ya, rektorat atau Unhas memang tidak menyiapkan pegawai khusus untuk pekerjaan ini di Identitas.
Saya dan beberapa reporter magang lainnya mendapat bagian tugas mengumpulkan piring dan gelas yang telah dipakai, membawahnya ke tempat cuci, untuk kemudian dicuci oleh Salma dan Ika. Repoter magang lainnya ada yang membersihkan karpet, merapikan kertas dan dokumen yang berserakan di lantai. Ada juga yang memeriksa notulensi rapat. Sebagiannya lagi berkelakuan seperti bukan reporter magang, pasang wibawa yang masih mengkal, berbaur dengan reporter senior, dengan raut wajah seakan tidak mengenal seangkatannya reporter magang, yang sedang sibuk merapikan ruangan. Selebihnya, ada yang lincah menghilang begitu saja sejak sebelum rapat berakhir.
Setiap kali ada rapat, itulah kejadiannya, itulah pekerjaanku. Kadang saya tidak sadar melakukan semua itu, penuh tanggung jawab dan dedikasi tinggi. Saya melakukannya secara bersungguh-sungguh, dengan pikiran bahwa inilah tuntutan kebutuhan Identitas dari diri saya. Seringkali ada kebanggaan yang hinggap dalam diriku. Seperti itulah, semua terjadi tanpa saya sadari. Saya sendiri waktu itu tidak bisa memastikan, apa itu semua saya lakukan dengan enjoy (menikmati) atau saya tidak perlu sadar atas semua itu.
Yang demikian itu, kalau saya tidak sadar. Bagaimana saat saya sadar? Saat ini kesadaran ini menyembul, segalanya terasa begitu aneh. Ada tema tentang kepantasan yang begitu berat, sekejap menyergap pikiran dan perasaanku. Saya berada di tempat yang sangat tinggi, menyimak diriku beraktivitas di Identitas, selaku reporter magang dengan piring di tangan kiri dan spongs di tangan kanan, tekun tanpa tendeng aling-aling. Saya menyeru dalam hatiku sendiri, kenapa diriku seperti itu! Di luar Identitas, saya seorang aktivis mahasiswa yang mulai digandrungi sebagai orator (konon sudah "orator ulung") dalam aksi mimbar bebas, dengan julukan podium "Mackbulatov". Saya juga mulai dikenal dengan artikel urakan terhadap Orde Baru dan militer di Majalah Dinding BOM-GER, dengan pembaca setia yang kian menjubel.
Betul, jalur ini seperti tangga yang tidak menanjak. Naluri membuat saya tetap bertahan di tangga ini. Saya berharap, berlaga dengan piring dan gelas habis pakai itu akan berakhir dengan sendirinya setelah selesai mengikuti In House Training. Rupanya, tidak seperti itu. Saya dan teman-teman magang lainnya, memang sudah diikutkan untuk meliput untuk rubrik Laporan Utama dan Laporan Khusus setelah "lulus" In House Training, bahkan sudah termasuk untuk meliput berita-berita biasa seperti pada rubrik Kampusiana, Kronik, dan Jejak Langkah. Namun, usai tugas meliput itu dan kemudian kembali ke kantor Identitas, saya harus masih bergaul dulu dengan tumpukan piring dan gelas. Tidak ada cerita lain kalau pekerjaan itu belum tuntas.
Selain tetap bertahan, saya juga terus memperlakukan Identitas ini seperti sebuah bangunan yang di bagian depannya ada pagarnya, lalu ada pekarangan di balik pagar sebelum menginjak teras depan. Jika ingin masuk ke dalam, tidak ada cara lain selain menginjakkan kaki dulu di teras depan ini. Betul yang seperti telah saya gambarkan, ada teras depan dan teras belakang. Saya sendiri yang menggambarkan seperti ini, dan juga bahwa saya baru beranjak menuju teras depan, baru saja melewati pintu pagar. Ini artinya, masih ada beberapa pintu yang akan saya lewati jika saya ingin terus melangkah. Jadi, urusan tumpukan piring dan gelas itu, ini baru menginjakkan kaki di teras depan Identitas. Di dalamnya, sampai pada teras belakang, hingga melewati teras belakang, ada banyak ikhwal yang menakjubkan dan mencengangkan.
Penampakan Identitas dari depan, memang betul, seperti rumah kecil. Itu juga mungkin kenapa penghuninya disebut keluarga kecil. Atau, bisa juga diibaratkan puncak gunung es di lautan, yang tampak kecil pada rumah kecil Identitas ini hanyalah pekarangan depannya, teras depannya. Di dalam, setelah melewati teras depan, ada rongga yang lebih luas daripada luasnya rumah kecil itu sendiri. Sepertinya ada ruang semesta di dalam rumah kecil ini, yang luasnya membentang dan merentang. Di dalam keluasan itu, ada keramaian yang merangkum banyak kelompok kecil perbincangan, kelompok kenangan, kelompok kepentingan, dan seterusnya, yang terusun seperti deretan meja dinner pada suatu pesta, yang geliatnya merobos dari masa ke masa, menerobos hingga pada hari ini. Personel Identitas seperti jemaat yang mengalir lamat-lamat dari segala arah memasuki rumah kecil ini, dan lalu mengalir ke segala arah dalam rongga semesta tadi, dan lalu menyebar serta menempatkan diri pada deretan meja dinner. Setiap pintu, setiap derap langkah dalam rumah kecil ini, adalah sebuah cerita yang terekam, yang kemudian menjadi cerita yang hidup dalam ingatan secara bergenerasi, dimana semua waktu tidak ada yang berlalu.
Seiring berjalannya waktu keberadaanku di rumah kecil Identitas, saya akhirnya bisa menyaksikan semua ruangan dan pintu setelah melintasi teras depan. Identitas ini ibarat sebuah universitas di dalam Universitas Hasanuddin. Semua fakultas dan cabang ilmu, dapat ditemukan di dalamnya. Rumah kecil Identitas menjadi titik kumpul entitas-entitas pemikiran kampus dalam berinteraksi; yakni yang berbeda secara diagonal dalam pergerakan pikiran dan pemikiran, yang berseberangan secara politik karena beda kiblat di luar kampus, yang berlainan buku bacaan karena perbedaan ideologi, yang terpartisi oleh kultur, yang berjarak karena hirarki kampus, yang tidak sama tinggi karena adanya status senior dan junior.
Soal alumni, memori ke-Identitas-an mereka terus dijaga oleh "esprit de corps", dalam keadaan apapun mereka dalam hari-hari. Ikhwal kenangan ber-Identitas dari masa ke masa, selalu menjadi top rate setiap kali ada dua atau lebih alumni Identitas berjumpa cerita. Satu kasus misalnya, bisa tampak dalam berbagai versi, dan itu semacam perbedaan yang tidak memerlukan konfrontasi perdebatan. Sebab, cerita indah selalu lebih penting daripada cerita yang sebenarnya. Mungkin ada cerita cinta dan asmara, namun pergolakan pemikiran dan kepentingan selalu menjadi tema favorit saat alumni Identitas berjumpa cerita.
Pada semesta dalam rumah kecil Identitas di atas, saya menemukan diriku laksana sehelai bulu ekor Macan. Saya memang bagian dari tubuh seekor Macan, tapi hanya ekor saja. Itu pun dalam bentuk sehelai bulu (dari ratusan helai bulu) yang menumpang tumbuh pada struktur ekor Macan itu. Di semesta Identitas ini, ada banyak Macan yang tersebar di seluruh meja dalam deretan.
Saya tertawa kecil sembari menggelengkan kepala saat menyimak semua meja. Saya tertawa karena orator mimbar bebas yang saya banggakan dan membuatku berdiri percaya diri, itu tidak lebih dari sehelai bulu pada ekor tubuh Macan di rumah kecil Identitas. Saya berputar, berkeliling, dan sesekali diam di tempat sejenak, terpajanglah sejumlah sosok dalam deretan, sosok yang laksana Macan. Rasa ingin tahu, ingin berkenalan, ingin berguru, ingin jadi murid pada sosok itu, tetiba mendesak begitu kuat dari dalam diriku.
Narasi orator ulung mimbar yang kubanggakan itu menciut-kerut menjadi boneka lucu saat menyimak sosok-sosok besar itu: Syafri Guricci, Anwar Arifin, Achmad Ali, Sinansari ecip, Zohra A. Baso, Andi Syahrir Makkuradde, A.R. Bualeng, S.M. Noor, Amran Razak, Akib Halede, Razak Thaha, Aidir Amin Daud, Arsunan Arsin, Baso Amir, Marwah Daud Ibrahim, Ishak Ngeljaratan, Fahmi Myala, dan seterusnya. Saya juga berinteraksi langsung dengan kru Identitas senior yang sudah menjadi wartawan penting di media umum nasional: Dahlan Abubakar, Asdar Muis RMS, Lily Yulianti, Nasrul Alam Azis, Rusman Madjulekka, Iqbal Latif, Farid Ma'ruf Ibrahim, Muhlis Amans Hadi, Iqbal Latif, Sukriansyah S. Latief, Judi Raharjo, Sapri Pamulu, Amril Taufiq Gobel, dan seterusnya.
Dari rumah kecil Identitas dan mereka, saya bisa berjejaring dengan tokoh-tokoh penting di Unhas seperti Alwi Rachman, Husni Tanra, Isradi Zainal, Salahuddin Alam, Moch. Hasymi Ibrahim, Sudirman HN, Alifian Mallanrangeng, Andi Irwan Patawari, Syarifuddin Wahid, Ibrahim Bora, Radi A. Gany, Ni'matullah, Yagkin Padjalangi, Suwarno Sudirman, Tamrin Halide, dan lebih banyak lagi. Demikian juga, dalam rumah kecil Identitas, saya bisa berjejaring dengan oraganisasi berpengaruh seperti HMI, IMM, banyak UKM (Unit Kegiatan mahasiswa), serta berbagai forum-forum diskusi kritis.
Rumah kecil Identitas ini bukan hanya besar, namun juga penuh wibawa. Identitas menjadi penjahit yang sangat rapi, rekat, dan mulus. Dan karena itu pulalah mengapa Identitas tidak pernah terseret pada konflik apapun di Unhas. Dalam beberapa momen, tokoh yang menjadi motor penggerak konflik adalah juga senior-senior Identitas. Meski demikian, tak satu pun konflik itu menjadi bagian dari masalah internal Identitas. Saya yang kerap terlibat dalam beberapa konflik di Kampus Unhas, juga tidak pernah mengeluhkan konflik atau masalah itu di Internal Identitas. Saya terlalu kecil untuk diperhatikan oleh rumah kecil Identitas.
Saya tidak ingat, kapan persisnya kehadiran saya di rumah kecil Identitas menemui titik transisi, dimana saya lebih banyak di luar kampus daripada di Identitas. Reformasi 21 Mei 1998 yang menumbangkan Orde Baru dan Presiden Soeharto, juga merupakan titik balik saya di Identitas. Jalan untuk bergerak maju ke depan setelah dari rumah kecil Identitas sungguh sangat banyak.
Anugerah dari Identitas yang terus saya jaga sampai saat coretan ini masih saya ketik adalah bisa berjodoh dengan salah seorang kru Identitas, yakni Azhariah Harun dari Fakultas Hukum Angkatan 96. Dari kami berdua, saya dan Azhariah, kami juga dianugerahi empat lelaki generasi biologis Identitas, yakni Mohammed Chalaby S (Abi, 20 tahun), Pateddungi Topanrita (Ato, 19 tahun), Fakhrul Gumawan (Agu, 17 tahun), dan Ade Kaisar (Ade, 15 tahun).
Sebentar malam adalah resepsi Dies Natalis PK Identitas Unhas ke-50. Selamat Ber-DIES-NATALIS PK IDENTITAS ke-50 (1974-2024). Terima kasih kepada para penggagas dan pendiri surat kabar kampus ini. Saya selalu rindu kepada keluarga kecil Identitas Unhas.
Untuk sementara, saya tutup perbincangan tentang Identitas Unhas ini setelah melewati enam sesi sebelumnya.
Makassar, 28 Desember 2024
SELESAI
<< Sebelumnya Murung di Bantimurung
Komentar