Murung di Bantimurung
IDENTITAS (Pernah) Dua Wajah (6)
Oleh Maqbul Halim
Rasa-rasanya pada sore itu, yang tersisa hanya "gerombolan" Identitas yang masih utuh duduk melingkar berkumpul di bawah gasebo, dalam cahaya hutan yang kian temaram. Gasebo ini memang tidak dilengkapi pencahayaan untuk rapat pada malam hari. Suara mengaji dari speaker TOA masjid menjadi penanda bakal tiba waktu solat magrib, tidak lama lagi. Seorang petugas pengelola wisata Bantimurung menghampir gasebo kami, dan butuh berkomunikasi dengan penanggung jawab kegiatan. Mungkin sekadar untuk menyampaikan sebuah pesan. Saya lalu bergegas menjauh dari gasebo sembari menggiring petugas tersebut agar perbincangan raker di gasebo tidak terganggu. Saya memberi isyarat telunjuk di bibir, agar petugas ini menahan diri untuk tidak berbicara sebelum posisi kami betul-betul sudah jauh dari gasebo.
Inti kedatangan petugas pengelola ini hanya menyampaikan dan mengingatkan bahwa waktu bagi tamu untuk kunjungan wisata telah habis dan rombongan kami dipersilakan untuk meninggalkan lokasi Bantimurung. Saya menegosiasi, memohon agar diberi waktu lagi. Saya katakan bahwa ini tidak lama lagi, dengan alasan bahwa gasebo itu akan gelap, dan pada akhirnya akan bubar sendiri. Petugas mengerti. Saya juga memberi tip sedikit kepada petugas tersebut saat dia melangkah menjauh dari tempat saya berdiri.
Usai solat magrib berjamaah, forum kembali dilanjutkan. Padahal saya sudah meminta kepada pimpinan forum untuk dilanjutkan ditempat lain, mungkin di luar area Bantimurung. Usulanku ditolak. Rapat tetap berlanjut di Bantimurung, di bawah atap gasebo, dengan lumens rendah cahaya lampu dari satu biji bohlam. Untuk logistik, hanya air minum kemasan gelas yang masih tersisa.
Belum 10 menit forum raker dilanjutkan, ada sosok dua orang secara samar-samar muncul dari kegelapan, lalu merapat di pinggir gasebo. Ternyata dua sosok itu adalah petugas polisi pariwisata (saya ingat dua orang ini tidak berseragam seperti polisi umumnya, seragam polisinya berbeda). Mereka meminta saya, kami, agar membubarkan diri. Alasannya, mereka tidak bisa pulang kalau masih ada tamu di dalam kawasan wisata Bantimurung. Dan juga, petugas yang sudah bekerja sejak pagi, akan menutup seluruh pintu akses keluar-masuk. Menghadapi desakan ini, saya tetap bertahan dan meminta lagi kelonggaran.
Sikap polisi pariwisata ini mulai mengeras. Mereka ingin saat itu juga kami tinggalkan kawasan dan melanjutkan perbincangan kami di luar area wisata Bantimurung. Mendapatkan sikap demikian, saya pun juga mulai menaikkan tone suara saat berbicara. Saya malah meminta mereka tidak mengganggu acara kami. Saya sampaikan bahwa sebagian besar mereka yang sedang berbincang itu adalah wartawan senior, wartawan media nasional. Saya sebutlah sederet media itu seperti Majalah Tempo, harian Kompas, Koran Fajar, Pedoman Rakyat, Republika, Suara Pembaharuan, Suara Karya.
Saya meyakinkan polisi pariwisata itu, jika tetap mengusir kami, maka pengusiran ini akan menjadi berita besar dan berita nasional. Saya tambahkan lagi, bahwa jika pengusiran terjadi, mereka bisa kehilangan jabatan atau pekerjaan sebagai petugas polisi pariwisata. Dan, pemecatan itu merupakan pekerjaan ringan bagi kami, cukup dengan--paling banyak--dua berita nasional. Setelah mendengar celotehanku itu, kedua petugas ini pun pergi sambil berujar bahwa apa pun yang terjadi, jika sesuatu terjadi, sudah bukan urusan mereka lagi. Saya berpikir dalam hati, mereka ada benarnya. Namun, saya juga yakin, kami (pertemuan itu) juga benar.
Seperempat jam berlalu, kami kembali disatroni polisi, mungkin tiga orang, lupa jumlah persisya. Mereka adalah personel dari Kepolisian Sektor (Polsek) Kec. Bantimurung. Pertanyaan pertama mereka kepada saya adalah apa judul acara kumpul-kumpul ini. Saya sampaikan bahwa sebenarnya ini adalah acara rapat kerja, seraya menambahkan bahwa kami semuanya adalah tidak lebih sama dengan pengunjung lainnya, pengunjung reguler. Dari jawaban ini, mereka menimpali bahwa kenapa tidak memberitahukan sebelumnya, atau setidaknya urus izin sebelum acara. Saya katakan lagi bahwa ini sebenarnya acara informal, hanya duduk-duduk berkumpul seperti biasa, sambil berbincang. Karena mereka tidak puas dengan jawabku, maka saya diminta untuk menghadap ke Kantor Polres Kabupaten Maros di Maros kota, berjarak 13 km dari lokasi wisata Bantimurung ke arah Barat, atau ke arah Kota Makassar.
Untuk panggilan polisi malam itu, saya meminta ijin ke forum karena polisi akan datang membubarkan acara kumpul-kumpul ini jika saya selaku penanggung jawab tidak datang memberi keterangan di Kantor Polres Maros. Permintaan saya agar acara kumpul-kumpul tetap bisa lanjutkan sambil saya menuju kantor polres, disetujui oleh personel polsek Bantimurung. Seorang kru Identitas mengantar, menemaniku ke Polres Maros menggunakan kendaraan roda dua. Saya juga sampaikan kepada senior dan semua kru Identitas sebelum bergerak ke Polres Maros, agar jika tiba waktunya raker sudah selesai, saya usul langsung saja puang ke Makassar, tanpa perlu mampir berkoordinasi dengan saya di Polres Maros. Itu jika pemeriksaan berlangsung lama. Jika tidak lama, saya janji akan kembali bergabung untuk bergerak bersama pulang ke Makassar.
Selama perjalanan menuju Polres Maros, saya belum bisa memperkirakan apa yang akan saya alami nantinya di sana. Yang dapat saya perkirakan, pemeriksaan nanti akan dimulai dengan ihkwal surat izin. Setengah jam setelah kami tinggalkan lokasi wisata Bantimurung, kami pun tiba di kantor Polres Maros. Saya melapor di petugas piket dan mereka meminta kartu identitasku, yaitu KTP. Saya hanya punya kartu mahasiswa. Saya serahkan kartu itu.
Setelah saya menjelaskan maksud kedatanganku, piket menuntun saya ke sebuah ruangan untuk menunggu. Ruangnya tidak luas, ada empat pasang meja kerja, dua lemari, dan satu set kursi untuk tamu. Ruangan masih kosong, yaitu tak seorang pun yang sedang beraktivitas di ruangan itu. Oleh petugas piket, saya diminta menunggu, karena petugas yang hendak menghadapiku masih solat Isya di masjid seberang kantor. Ia meletakkan kartu mahasiswaku di atas meja di hadapanku. Ruangan terasa pengap, padahal AC sudah on. Lampu penerang hanya tiga buah, cahanya cukup untuk keperluan ruang kerja.
Sesaat kemudian, personel polisi yang saya tunggu telah datang. Untuk detailnya, misalnya nama, pangkat, jabatan, saya tidak ingat lagi. Mereka ada dua orang, satu berbadan bongsor dan yang satunya berbadan jangkung. Saya duduk sendiri di atas kursi plastik usang, menghadap ke arah mereka di belakang meja. Kami duduk diantarai sebuah meja kerja, lebar 1 x 1,5 meter. Kru Identitas yang mengantarku, diminta menunggu di luar ruangan. Saya dimintai keterangan kurang lebih 90 menit.
Dugaan saya betul, mereka mempersoalkan kegiatan resmi yang tidak disertai izin. Polisi meragukan keteranganku bahwa acara kumpul-kumpul ini dinaungi oleh institusi resmi, yakni PK Identitas Unhas. Saya katakan, bahwa rombongan kami datang ke Bantimurung mengendarai bus 3/4 milik Unhas, berpelat merah dan saya sebut kode dan nomor pelatnya. Saya diminta sebutkan satu persatu identitas dari 46 orang yang sedang berkumpul itu, di luar dari diri saya. Beruntung, saya bisa sebut nama lengkap atau nama panggilan mereka, berikut nama jurusan dan fakultas, pekerjaan atau profesi sementara, serta angkatan masuk Unhas. Nampaknya, pemeriksa belum puas mendengar jawaban itu. Saya yakin, mereka belum mengeluarkan semua pertanyaannya. Pada sisi lain, saya juga makin gelisah memikirkan orang-orang yang sedang rapat di Bantimurung sana, karena acara itu adalah tanggung jawabku selaku ketua panitia raker.
Inilah yang terjadi, belum selesai masalah pemeriksaan soal acara kumpul-kumpul itu, muncul pula masalah berikut. Saya ditanyakan mengenai apa sosok lembaga internal Unhas yang bernama Identitas itu. Saya jawab bahwa Identitas adalah sebuah lembaga pers mahasiswa yang punya terbitan di Unhas dalam bentuk ukuran tabloid, terbit dua kali sebulan, 12 dan 16 halaman. Saya berasumsi bahwa jawabanku ini akan menyelesaikan pemeriksaan lebih cepat, mengingat pers mahasiswa sangat disegani di luar kampus. Nyatanya, jawaban itu malah menunjukkan saya jalan keluar dari labirin ke labirin berikutnya. Saya gugup dan tidak percaya diri memutuskan, akankah saya bergerak kiri, ke kanan, atau diam di tempat!
Saya terlambat sadar. Pers mahasiswa memang disegani karena menjadi salah satu tentakel gerakan oposisi anti rezim Orde Baru, dan berjejaring (nettworking) pada hampir semua kampus-kampus besar di Indonesia. Entitas pers mahasiswa sudah menjadi salah satu titik target operasi "state aparatus" militer dan Orde Baru untuk membungkam oposisi. Mungkin ini yang ada di kepala polisi ketika mendengar jawabanku waktu itu, yakni pers mahasiswa itu barang berbahaya. Jika pihak berwajib mengetahui keberadaan pers mahasiswa di luar kampus namun tidak melaporkan ke pimpinan atau ke instansi khusus Orde Baru, akan berhadapan dengan Bakorstanas (Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional) untuk menjalani penelitian khusus (Litsus). Hukumannya bisa setara dengan hukuman oposisi yang dituduh subversif.
Dua polisi di hadapanku terlihat luruh, terdiam, dan lalu saling berbisik halus. Ruangan memang hening, namun saya tidak mendengar suara bisikan mereka. Polisi yang berbadan jangkung lalu meninggalkan ruangan dengan membawa serta kartu mahasiswaku, entah pergi ke mana. Seorangnya lagi yang berbadan bongsor melanjutkan pertanyaan, namun intonasi pertanyaannya sudah jauh dari kesan interogasi, sebagaimana sebelumnya. Gawean dengan kantor polres Maros ini sepertinya sudah selesai, tapi saya juga tidak percaya pemeriksaan ini berakhir seperti anyaman rotan yang tidak selesai. Proses ini terlalu dangkal, pasti ini bukan yang sebenarnya.
Saya memikirkan, mungkin akan ada keadaan lain menyusul, tapi entah apa itu. Pemeriksa yang tinggal seorang diri di hadapanku, juga lebih banyak memeriksa berkas-berkas yang menumpuk tinggi di mejanya, tak lagi berbicara seperti misalnya bertanya atau memancing, atau semacam berbasa-basi. Suasana hening, dan polisi ini yang tidak berbicara lagi, rasa-rasanya ini lebih menekanku, mendesak diriku menjadi gelisah. Pikiranku tertindis oleh keheningan. Jika saya memecah suasana beku itu dengan berbicara sekadar untuk mengakrabkan diri, entah dengan satu kosa kata saja, itu malah bisa membuat pemeriksaan menjadi berlarut. Karena itu, tidak ada jalan lain selain sama-sama diam, sibuk dengan pikiran di kepala masing-masing.
Suasana ruangan yang membeku lebih dari seperempat jam, akhirnya hidup kembali. Polisi yang berbadan jangkung yang tadi meninggalkan ruangan, datang kembali, membuka pintu, lalu melangkah masuk bergabung. Ia sepertinya sedang membawa pesan. Pikiranku berkecamuk, berputar seperti roda gila, mencoba mencari apa gerangan judul polisi yang datang kembali ini. Nasib apa lagi yang bakal saya hadapi sesaat lagi ke depan.
Kembali lagi, kedua polisi itu saling berbisik pelan dengan jarak kepala keduanya sangat rapat. Polisi yang berbadan bongsor itu, mengangguk-anggukkan kepala setelah mendapatkan bisikan. Air mukanya datar, dan suara tarikan nafasnya terdengar datar. Ia berhenti menjamah berkas-berkas di depannya, mendudukkan badannya lebih tenang di atas kursi, dan kemudian mengarahkan wajahnya ke posisi wajahku.
Ia mengeluarkan kalimat singkat, kalimat penyampaian, bahwa saya ditunggu di kantor Kodim Maros, saat itu juga. Kodim (Komando Distrik Militer). Ia menyarankan kepada saya agar tidak berlama-lama di kantor Polres Maros ini. Seorang personel militer sedang menungguku kedataganku di kantor Kodim Maros. Jarak antara kantor Polres Maros dan Kodim Maros hanya ditempuh kurang lebih 10 menit perjalanan dengan kendaraan roda dua. Saya meninggalkan Polres Maros tanpa dokumen apapun yang harus saya tanda-tangani. Pergi begitu saja. Saya tanyakan kartu mahasiswaku, mereka menjawab bahwa saya bisa mengambilnya setelah selesai di kantor Kodim.
Saya penasaran, apa gerangan sehingga saya harus ke sana. Bukankah diinterogasi di kantor polisi selama 90-an menit, itu sudah lebih dari cukup! Lagi pula, tubuh saya sudah mendekati titik lelah, melewati momen tegang yang ternyata belum jelas kapan berujung. Pikiranku yang tenang, normal dan sehat sudah tidak bekerja dengan baik, tidak bisa lembur seperti biasanya. Sementara bergegas berangkat ke kantor Kodim Maros, saya juga mendapat kabar bahwa Kru Identitas di Bantimurung sudah bubar, dan beriringan bergerak pulang ke Makassar, sesuai hasil koordinasi sebelumnya.
Hal yang sama sebelumnya di kantor Polres Maros juga terjadi di sini, saya lupa detail identitas personel tentara yang memeriksaku di kantor Kodim. Dia hanya seorang diri memeriksa saya. Kartu mahasiswaku yang tadi digondol polisi, kini ada di tangan personel tentara ini. Sikapnya dingin, tertutup dan datar. Dia berbicara sangat irit dan efisien, serta tepat sasaran ketika mengajukan pertanyaan.
Intinya, saya dicecar beberapa pertanyaan tentang apakah koran Identitas Unhas adalah pers mahasiswa atau bukan. Dia juga menanyakan untuk saya jelaskan, apa-apa saja yang dibicarakan oleh kru Identitas mulai sore sampai malam di Bantimurung itu. Termasuk yang ditanyakan, apakah semua yang hadir di sana itu adalah aktivis pers mahasiswa yang berpura-pura sebagai anggota civitas akademika Unhas. Saya bahkan diminta menggambarkan peta jaringan aktivis-aktivis perlawanan di kampus Unhas, yang juga sekaligus berprofesi sebagai wartawan.
Ini semua pertanyaan gila, yang tentu harus dijawab juga dengan kegilaan. Ya, jawaban yang berasal dari pikiran ganda, jawaban dari pikiran kanan yang tidak bisa dikonfirmasi oleh pikiran kiri. Jika pun harus berdusta, berbohong, mesti tersusun rapi, terpadu, dan logis. Jika tidak, jika tidak hati-hati, saya pasti akan berurusan dengan kantor militer yang lebih tinggi, dan mungkin di hadapan tentara yang berpangkat perwira. Namun, bagaimana saya bisa membangun cerita bohong yang rapi terpadu dan logis, jika kondisi psikis dan pikiranku waktu itu sisa "lima watt"! Mata sudah berat untuk menahan rasa ngantuk. Pikiran di kepala sudah rawan untuk dipaksa memeriksa semua semua permintaan dan pertanyaan pemeriksa, pikiran yang bisa menjurumuskanku ke ucapan yang berbahaya, ucapan yang bukan dari pikiran sehat dan normal. Keadaanku yang tidak baik-baik saja itu, tidak mungkin bisa menghentikan episode pemeriksaan ini.
Kerepotannya adalah kesalahan saya memberi jawaban kepada polisi bahwa Identitas itu adalah pers mahasiswa. Padahal, keterangan lain sebelumnya yang mendahului sudah betul, bahwa Identitas itu adalah institusi resmi di internal birokrasi Unhas, perpanjangan tangan pemerintahan Orde Baru. Kesalahan serius yang saya lakukan adalah memberi keterangan tambahan bahwa Identitas itu adalah pers mahasiswa. Maksud utamaku mengeluarkan keterangan ini, agar polisi tidak perlu berpanjang-panjang memeriksaku. Sebab, dalam banyak kesempatan, polisi seringkali menghindar berkonfrontasi dengan elemen-elemen gerakan mahasiswa kampus. Saya tidak mengatakan polisi takut dalam hal ini. Gertakan saya melalui penjelasan tentang pers mahasiswa, justru menjadi blunder, yang akhirnya membuat diriku dikepung oleh seorang tentara di ruang pemeriksaan yang sempit dan AC pendinginnya berstatus off.
Jelang akhir pemeriksaan, saya diminta kooperatif untuk datang lagi jika masih ada informasi yang diperlukan dari saya. Saya menghabiskan waktu di kantor ini lebih dari sejam, efektif, karena tidak dibarengi menunggu ibaratnya seorang tersangka di depan penyidik. Kartu mahasiswaku saya terima kembali. Saat hendak memastikan apakah Identitas adalah pers mahasiswa atau bukan berdasarkan keterangan yang telah kuberikan, apakah saya tidak lebih repot nanti dengan semua jawaban dan pejelasan yang telah saya berikan, apakah saya sekarang sudah dipermulaan bahaya, sang pemeriksa tidak merespon. Ia hanya berujar beberapa saat setelah tidak merespon permintaan tadi itu, agar saya segera kembali ke Makassar. Juga, tak ada berkas atau dokumen apapun yang harus saya tanda tangani sebelum pergi.
Bersama kru Identitas yang menemaniku sejak sore, kami meninggalkan kantor Kodim Maros, langsung menuju Makassar. Bus dan angkutan umum dari daerah sudah mulai beriring melintasi Kota Maros untuk terus memasuki kota Makassar mengantar penumpangnya. Jalanan lengang.
Peduliku terahadap kemurungan di Bantimurung, sulit saya kesampingkan. Saya melihat sosok diriku sendiri ciut menjadi entitas yang tidak lebih remah-remah. Saya pikir, proses matrikulasi di Identitas waktu itu mengarahkan saya ke tempat yang tidak diketahui. Padahal itu baru di teras luar Identitas, belum teras dalam, apalagi teras belakang. Masih banyak partisi belum terbuka, cluster-cluster yang belum dijelajah. Tapi di ruang itu, saya bertahan, agar bisa bersama dalam sejarah Identitas.
Makassar, 21 Desember 2024
>> Lanjut ke Orator Cuci Piring
<< Sebelumnya Sengketa di Layout Tempelan
Komentar