Kontroversi dan Differensi
IDENTITAS (Pernah) Dua Wajah (3)
Oleh Maqbul Halim
Di Identitas, saya mendapati wadah ini seperti jendela untuk melihat Unhas dan Indonesia jauh lebih lebar. Tentang Unhas sebagai contoh, saya bisa mengenalnya melalui banyak sudut pandang, sudut pandang mahasiswa, aktivis kampus, penggerak organisasi kemahasiswaan kampus, dosen, birokrat kampus, guru besar, penjaga toko buku, atau loper koran. Mereka semua adalah nara sumber berita untuk liputan Identitas. Dan dari mereka, dengan ulasan redaksi Identitas, kampus Unhas bisa dibuat menjadi adem, bisa gaduh, bisa plin-plan, bisa seperti kandang pikiran hewan.
Selalu ada perbedaan sudut pandang antara mahasiswa dan aktivis mahasiswa melihat perilaku birokrasi kampus. Mahasiswa memandang birokrasi kampus sebagai elemen pemerintah yang bertugas melayani fungsi Tri Dharma Perguruan Tinggi. Sedangkan aktivis mahasiswa memandang birokrat kampus sebagai perpanjangan tangan rezim Orde Baru dan Militer menjalankan misi menjadikan civitas akademika Unhas sebagai aparatus kekuasaan.
Inilah salah satu hobi saya di Identitas, mengeksploitasi perbedaan dan kontroversi perbedaan yang seperti itu. Perbedaan itu bisa memancing perdebatan yang berlarut-larut, menghasilkan banyak berita. Karena kapasitas ruang redaksional di Identitas yang sangat terbatas, kadang perdebatan itu berpindah ke ruang-ruang diskusi kelompok mahasiswa. Ibarat makanan, kontroversi menjadi menu favoritku di Identitas. Instingku bekerja menemukan kontroversi saat diberi tugas meliput di lapangan. Kontroversi itu bisa muncul dari jawaban narasumber, bisa juga dari keadaan lapangan, atau narasi yang bertentangan dengan akal sehat, atau setidaknya bersifat unik.
Setiap kali jendela Identitas terbuka, saya hanya menaruh perhatian pada titik-titik yang kontroversial atau differensial. Kadang ada hal yang tidak logis atau datar-datar saja, namun sebenarnya itu adalah cerita yang menarik. Nilai-nilai dasar jurnalisme memang adalah jiwa suatu berita, tapi bajunya mesti mempesona. Saya selalu memperlakukan peristiwa-peristiwa di kampus sebagai suatu cerita, yang mesti dikemas secantik mungkin. Dan dalam situasi itu, saya juga kadang terpleset ke dramatisasi, kadang semi-hiperbola. Itulah caraku memperlakukan berita. Berita-berita Identitas memang tidak untuk dijual, namun harganya tetap harus mahal.
Suatu ketika, mungkin tahun 1995, terjadi perkelahian mahasiswa antara dua fakultas di kampus Tamalanrea. Beberapa fasilitas kampus rusak dan hancur. Agar perkelahian tidak berlanjut, Prof Radi A Gany sebagai rektor waktu itu memutuskan untuk menutup akses masuk-keluar kampus di Pintu Dua. Kebijakan ini diterapkan sampai tujuh bulan kemudian, yakni pada saat pecah kembali perkelahian mahasiswa antar fakultas. Salah satu yang diduga menjadi penyebab pecahnya perkelahian kedua ini adalah karena ditutupnya Pintu Dua. Untuk itu, dibukalah kembali akses Pintu Dua. Dua kebijakan rektor ini saya ulas dalam satu artikel berita di Identitas.
Kira-kira dialognya seperti ini, Pak Rektor, tujuh bulan lalu kenapa Pintu Dua ditutup? Jawab rektor, itu untuk mencegah perkelahian. Pak Rektor, kenapa Pintu Dua dibuka sekarang? Jawabnya, untuk mencegah perkelahian. Saya betul-betul menang dengan berita tentang kontroversi kebijakan rektor tersebut. Makin bingung rektor menjawab, makin "gurih" artikel berita yang kubuat. Rektor sendiri tergelitik mengetahui berita itu.
Awalnya, rektor mungkin menduga bahwa saya akan mengulas berita perkelahian, yang pasti akan berat sebelah terhadap pihak-pihak yang terlibat. Saya justru terpikat pada sisi lainnya, bukan sisi perkelahiannya. Yang seperti ini adalah soal cara memperlakukan realitas dalam pikiran. Selama masa-masa itu, saya merasa pembaca Identitas juga mulai mengenali corak berita hasil kreasi saya, dan di kemudian hari, juga menjadi model baru kebijakan redaksional Identitas. Dan, model itu tidak berlangsung lama, karena mengikuti keberadaanku di Identitas.
Berikutnya, saya akan bercerita tentang beberapa penggalan kasusku di Identitas yang mengundang kerepotan banyak pihak. Beberapa di antara kasus itu bahkan mengancam eksistensi Identitas sendiri dan diriku sendiri selaku mahasiswa. Salah satu inti cerita-cerita itu, saya dituduh tidak profesional menjalankan perkerjaan jurnalistik sebagai kuli tinta Identitas. Saya bertahan bahwa ini bukan tentang tidak profesional, tetapi bagaimana suatu gagasan disusun bukan menurut susunan umum pikiran manusia umum. Publik kampus Unhas tidak terbiasa dengan ekspresi yang tidak lazim. Zaman sekarang menyebutnya dengan istilah "out of the box".
Ada dua cerita diantaranya yang saya ingat karena kelucuannya yang tampak serius. Cerita pertama adalah edisi cetak Identitas tahun 1996 yang disensor oleh seorang oknum dosen dari Fisip Unhas. Dosen ini datang sembari memimpin timnya ke redaksi Identitas, mungkin sampai lima orang. Mereka membawa kira-kira 10 boks spidol permanen berwarna hitam. Setiap boks berisi selusin unit spidol.
Yang dikerjakan oleh dosen ini adalah menutupi artikel berita saya pada edisi cetak dengan coretan spidol tebal. Coretannya sangat rapi, namun lambat. Setelah tinta semua spidol habis, kegiatan sensor dilanjutkan dengan menggunting (melobangi/melubangi) kotak artikel berita saya pada lembar halaman koran. Seorang dari mereka keluar membeli banyak gunting kecil melobangi. Waktu itu, Identitas terbit oplah 5 ribu eksamplar. Artinya, ada 5 ribu oplah Identitas yang tersebar ke civitas akademika Unhas dengan keadaan wajah salah satu lembar halamannya ditutup dengan coretan spidol dan ada juga yang berlubang. Ini model sensor media cetak yang kemungkinan tidak akan terulang sampai tahun 4326 masehi. Sensor model KONDOMBLE (Konyol, Dongo', dan Mbalelo).
Saat kegiatan sensor itu, saya menolak datang ke sekretariat Identitas. Saya tidak setuju karena pihak redaksi Identitas mengizinkan kegiatan sensor tersebut. Saya sedih, Identitas seperti diobok-obok, dibongkar-bongkar. Dosen yang memimpin sensor itu adalah dosenku sendiri, dimana saya adalah mahasiswa pada salah satu mata kuliah yang diampuhnya. Akibat kasus ini, dua tahun berturut saya tidak diluluskan pada mata kuliah yang dia asuh. Saya akhirnya mendapatkan nilai dari mata kuliah tersebut pada kali ketiga setelah dosen itu diganti oleh dosen lainnya.
Kala itu, saya menulis berita dengan memuat komentar dosen tersebut perihal tentara yang menerobos masuk di kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI) Jln Urip Sumoharjo tahun 1996, yang menyebabkan tiga mahasiswa menjadi korban meninggal. Mahasiswa UMI memprotes kebijakan pemerintah menaikkan tarif angkutan Pete-pete. Mahasiwa UMI menutup jalan, menyebabkan kemacetan panjang di depan kampus UMI. Entah apa penyebabnya polisi sulit mengendalikan aksi protes mahasiswa ini, turunlah tentara membantu polisi dengan menerobos masuk kampus. Mahasiswa UMI terdesak ke belakang kampus yang dibatasi oleh sungai kecil.
Usai aksi bentrokan antara mahasiswa UMI dan tentara yang populer dengan nama AMARAH (April Makassar Berdarah) 1996 itu, saya meminta tanggapan kepada sang dosen. Dosen ini memberi komentar menarik dan saya minta agar komentar itu saya beritakan di Identitas. Ia setuju. Hanya saja, beberapa hari kemudian, sang dosen itu memutuskan membatalkan komentarnya. Sementara naskah Identitas sudah naik cetak. Sang dosen keberatan dengan artikel berita yang sudah terlancap di percetakan ini, dan memilih sensor daripada menggunakan hak jawab.
Setelah saya wisuda tahun 1999, saya baru mendapatkan cerita mengapa sang dosen waktu itu sangat berkepentingan mensensor edisi cetak Identitas. Waktu itu, ternyata beliau sedang mengurus administrasi untuk memenuhi syarat mendapatkan jabatan Profesor dan guru besar dari pemerintah. Dan, komentarnya yang diberitakan Identitas itu sangat memojokkan Pemerintahan Orde Baru dan menjadi blunder pada urusan administrasi ini.
Cerita lainnya adalah seorang dosen perempuan memukul jidat seorang mahasiswa dengan sole sepatunya. Jidat mahasiswa itu menghitam, lebam dan bengkak. Mahasiswa yang kena tamparan sepatu ini tidak melawan. Konon, dosen ini kesal karena ruang perkualiahan di samping ruangnya memberi kuliah, terdengar ribut dan gaduh. Pasalnya, dosen di ruang perkuliahan di sebelah tersebut belum datang, atau mungkin memang tidak datang. Mahasiswanya pun gaduh dan bising. Sang dosen itu ikut terganggu kenyamanannya memberi materi perkuliahan. Ia lalu mendatangi ruangan sebelah tersebut dan memilih salah seorang mahasiswa untuk diberikan pukulan sole sepatu.
Pada rubrik KRONIK Identitas, Ishak Zainal menuliskan peristiwa tersebut ke dalam dua pragraf dengan judul, "Dosen Perempuan Sospol Pukul Kepala Mahasiswa dengan Sepatu". Saya mengamati selama dua minggu secara seksama dan cermat, dosen tersebut ternyata tidak merasa bersalah, santai, dan tidak tertekan oleh berita itu. Edisi Identitas berikutnya, saya naikkan kembali berita yang sama namun dengan judul yang sudah menyebut nama terang dosen tersebut. Barulah dosen ini murka.
Dia pun lantas datang ke redaksi identitas. Dia datang bukan untuk mengadu atau berdebat, melainkan datang untuk menantang berkelahi. Mungkin karena dosen ini adalah perempuan, tak satu pun kru Identitas yang berminat terima tantangannya. Menyadari dirinya sebagai perempuan, ia berjanji akan datang lagi besoknya, dan memboyong suaminya yang laki-laki, supaya tantangan berkelahinya direspon.
Akhir cerita kedua ini terhenti di jurusan Sosiologi Unhas. Ketua penerbitan IDENTITAS yang ditunjuk rektor adalah H.M. Darwis MA, DPS, yang juga dosen Sosiologi, mengambil alih kasus ini. Cekcok antara dua dosen ini pun berlanjut di jurusan tersebut, dan Identitas kembali tenang.
Makassar, 18 Desember 2024
>> Lanjut ke Identitas versus Wajah Sendiri
<< Sebelumnya Tiba di Identitas
Komentar