Identitas versus Wajah Sendiri
IDENTITAS (Pernah) Dua Wajah (4)
Oleh Maqbul Halim
Selama di dapur redaksi Identitas, saya menemukan penerbitan ini mirip salah satu dewa dalam mitologi Yunani, yakni Dewa Janus. Dewa ini dikenal berwajah dua, satu wajahnya menghadap ke depan, yang satunya menghadap ke belakang (seharusnya wajah itu menghadap ke depan, tidak ada ke belakang, seperti halnya tak ada punggung yang menghadap ke depan). Dalam tubuh Identitas, terdapat dua kepribadian (tapi bukan tentang keperibadian ganda), kata lain dari Dewa Janus Berwajah Dua.
Pribadi pertama adalah merefleksikan kepentingan pemerintah/rektor, dan kepribadian kedua merefleksikan kepribadian gerakan mahasiswa (baik konteks Unhas maupun konteks nasional). Dua wajah atau pribadi ganda, kerap membuat banyak pihak bersikap gamang terhadap Identitas. Itulah sebabnya, tidak selamanya gerakan mahasiswa Unhas waktu itu mesti selalu memperlakukan Identitas sebagai mesin politik pemerintahan Orde Baru, sebab wajah gerakan mahasiswa juga ada di Identitas.
Demikian pula sebaliknya, militer dan Orde Baru dalam konteks Sulawesi Selatan, tidak bisa selalu memandang Identitas sebagai corong gerakan aksi mahasiswa, sebab Identitas juga salah satu tentakel Gurita Orde Baru. Karena ini semua, wajar jika Identitas kerap bersalin rupa, suatu waktu menyebut diri pers mahasiswa, pada momen lain menyebut diri pers kampus, atau bernama lembaga penerbitan kampus.
Status dengan dua wajah, ini juga yang menyebabkan Identitas jarang mendapatkan perhatian dari jaringan pers mahasiswa nasional. Identitas dipandang bukan pers mahasiswa karena dihidupi oleh anggaran pemerintah melalui anggaran universitas. Puncuk pimpinan redaksinya juga bukan berasal dari mahasiswa, melainkan dari kalangan birokrat kampus, pejabat eselon. Aktivis pergerakan mahasiswa Unhas telah memandang wajah Identitas yang merefleksikan wajah Orde Baru ini sebagai kelemahan pergerakan mahasiswa di Unhas. Tidak semua keadaan Identitas bisa disebut sebaga pers mahasiswa, sementara gerakan mahasiswa kampus menuntut agar Identitas tampil secara utuh sebagai pers mahasiswa yang bercirikan perlawanan dan perjuangan. Tentu saja, Identitas tidak bisa memodifikasi dirinya seperti itu. Tentu saja, itu betul.
Pada sisi lain, tidak bisa juga dipungkiri bahwa Identitas banyak menjadi motor penggerak wacana perlawanan gerakan mahasiswa di Unhas menghadapi otoritarianisme Orde Baru dan militer. Identitas malah telah jauh membiarkan sosoknya menjadi corong gerakan aksi mahasiswa di Unhas, merajut kelompok-kelompok diskusi kritis menjadi dapur konsep gerakan mahasiswa merespon ketidak-adilan di tengah masyarakat di luar kampus. Karen itu semua, Identitas sering mendapat teguran dari rektorat, ditunda anggarannya dan dicairkan setelah sandiwara "bertobat" di depan rektor.
Setelah memastikan Identitas menjadi titik lemah gerakan mahasiswa di Unhas, maka muncullah sebuah ide dari generasi Unhas yang lebih segar (angkatan lebih baru, antara angkatan 92 - 94). Mereka menggagas pembentukan unit kegiatan mahasiwa yang khusus begerak di bidang pers mahasiswa. Ide ini terus berputar, terus bergulir, mendapat dukungan luas dan kuat dari kelompok-kelompok gerakan mahasiswa di Unhas, dan dukungan dukungan dari aktvitis-aktivis yang ada di Identitas. Puncaknya, lahirlah UKM Pers Mahasiswa Unhas, mengelola penerbitan buletin secara berkala, dan majalah dinding Baca-baca Berdiri. Unit ini juga tetap mendapatkan bantuan keuangan sangat sedikit dari bidang kemahasiswaan di rektorat, namun kebijakan redaksionalnya jauh lebih berdaulat daripada Identitas.
Identitas dan UKM Pers Mahasiswa sama-sama bergerak di jalur jurnalistik. Kadang ada beberapa momen UKM Pers Mahasiswa menutupi kekurangan Identitas pada wacana tertentu yang sensitif. Keduanya bergerak tidak dalam rivalitas. Antara ruang Identitas dan ruang UKM Pers Mahasiswa, ada semacam pintu penghubung (connectiong door), yang memungkinkan adanya saling pertukaran ide, gagasan, dan misi. Pada situasi khusus, yang saya pahami seperti ini, UKM Pers Mahasiswa juga membatasi diri untuk cemburu melihat fasilitas-fasilitas di Identitas, karena jika ingin mendapatkan perlakuan fasilitas yang sama, pada akhirnya akan tidak ada bedanya Identitas dan UKM ini sebagai corong rektorat.
Begitulah wajah Identitas waktu itu, satu wajahnya adalah wajah rektorat (pemerintah/Orde Baru) dan satunya lagi adalah wajah pergerakan mahasiswa di bidang pers dan penerbitan. Dengan kata lain, Identitas juga kadang melawan wajahnya sendiri waktu itu. Saya sendiri suka bermain di sisi wajahnya sebagai wadah pergerakan mahasiswa melawan Pemerintah/Orde Baru. Ketika ada kala saya terdesak, saya juga biasa bermain di wajah Identitas sebagai wajah pemerintah/Orde Baru. Permainan yang satu ini hanya digunakan untuk menyelasamatkan wajah Identitas dalam fungsi pers mahasiswa.
Bermain di permukaan dua wajah Identitas, bukan juga suatu permainan yang luput dari resiko. Dalam skala zaman keemasan Orde Baru, level resiko itu bisa disebut separuh berbahaya. Kalau saya tidak salah, suatu ketika tahun 1994 di lokasi wisata alam Bantimurung Kabupaten Maros, saya dipermainkan oleh kesalahan saya sendiri, yakni salah konteks bermain dengan dua wajah Identitas. Ruang yang tersisa untuk berimprovisasi sangat sempit, juga ruang untuk berpikir antisipatif sudah tidak ada. Dalam waktu yang saya tidak ingat bagaimana singkatnya, saya terpisah dari panggung permainan. Saya menghadapi serangkaian serangan (mungkin sejenis serangan psikologis) yang hampir membuatku putus asa.
Sebelum peristiwa Bantimurung ini, dapur redaksi Identitas sedang berganti kulit, yakni berganti pimpinan redaksi di tingkatan menengah ke bawah. Seingatku, momen waktu itu adalah momen transisi, yakni pergantian Redpel (Redaktur Pelaksana), dimana redpel yang lama sudah habis, entah karena sudah sarjana atau penyebab lain. Masa kerja redpel hanya setahun, meski ada juga yang lebih dari satu tahun. Penggantian redpel akan disusul juga pengocokan/penggantian struktur di bawahnya, redaktur, reporter, reporter magang, fotografer, dan lainnya.
Sudah lazim setiap selesai forum pergantian redpel, Rapat Kerja (Raker) segera dilaksankan untuk merumuskan rencana kerja dari rekomendasi forum pemilhan redpel tersebut. Untuk itu, dilaksanakanlah Raker. Agar Raker itu bisa lebih santai dan sekaligus refresing, maka diputuskan untuk memilih lokasi wisata Bantimurung Kabupaten Maros sebagai venue raker. Pada saat forum pergantian redpel sebelumnya, saya ditunjuk menjadi ketua panitia raker. Awalnya saya mengusulkan kru lain. Peserta rapat lebih menginginkan saya menjadi penanggung jawab pelaksanaan raker.
Waktu itu, kami berangkat ke lokasi wisata Bantimurung dari kampus Tamalanrea, menumpang kendaraan roda empat mini bus Rektorat Unhas. Tidak sulit untuk mendapatkan izin peminjaman kendaraan ini, karena Unit Produksi dan Penerbitan Identitas dan UPT Transportasi Unhas, sama-sama berada di bawah naungan Biro Umum rektorat Unhas. Ada beberapa kru Identitas lainnya dan alumni, jumlahnya tidak banyak, yang juga ikut bergerak ke Bantimurung untuk ikut Raker dengan kendaraan sendiri, terutama roda dua. Semua Kru Identitas diwajibkan hadir. Saya tahu, ada juga yang datang menggunakan angkutan umum Petepete.
Sesuai rencana, kru dan panitia akan berangkat pada pagi hari di Kampus Tamalanrea, dan sekretariat Identitas atau rektorat sebagai titik kumpul. Karena masih ada sisa ketegangan, jam keberangkatan molor hingga siang hari, setelah solat duhur dan makan siang. Rombongan tiba di Bantimurung kurang lebih pada pukul 3 sore. Tiba di lokasi, juga masih harus menunggu ada gasebo kosong untuk digunakan sebagai tempat rapat. Kurang lebih, seingatku, jumlah peserta raker mencapai 47 orang, kurang lebih 12 perempuan. Separuh yang hadir adalah alumni Identitas dan senior-senior, dan sisanya adalah kru redepel, redaktur, reporter, reporter magang, kru bidang produksi dan penerbitan.
Memang, raker ini memang tidak mendapatkan persiapan yang baik. Itulah sebabnya tidak ada reservasi gasebo (tempat) sebelumnya. Kami ragu, jangan sampai kami reservasi pagi atau siang, ternyata sore baru kami datang. Yang terjadi kemudian, ternyata seperti itu, sore baru tiba di lokasi. Keraguan lainnya, jangan sampai tidak banyak peserta raker yang datang sementara kita reservasi tempat dengan jumlah peserta yang lebih banyak daripada yang datang. Dan karena itulah, saya memutuskan tidak ada reservasi tempat, dan ini saya anggap keputusan tepat.
Demikian juga mengenai izin kegiatan. Seorang senior menyarankan saya untuk mengurus izin kegiatan. Saya memberi penjelasan bahwa kita hanya datang ke sana sebagai pengunjung biasa (guest). Kita memanfaatkan kunjungan itu sambil ngobrol, dengan kata lain sambil raker. Lagi pula, jika kegiatan harus izin hanya bisa dikeluarkan pihak pemerintah dan keamanan, dan itu akan menyebabkan pemberlakuan tarif khusus yang lebih tinggi dari pengelola tempat wisata. Pada intinya, kru Identitas hanya pergi berwisata di kawasan Bantimurung sambil berbincang secara teratur dan tertib. Karena itu, izin kegiatan tidak relevan. Fix.
Makassar, 19 Desember 2024
>> Lanjut ke Sengketa di Layout Tempelan
<< Sebelumnya Kontroversi dan Differensi
Komentar