Melintasi Mimbar Bebas
IDENTITAS (Pernah) Dua Wajah (1)
Oleh Maqbul Halim
Pada dasarnya, hasrat untuk bergabung bersama Penerbitan Kampus (PK) Identitas Unhas itu adalah obsesi saya sejak kelas dua SMA. Suatu ketika, mungkin tahun 1989, KKN Mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas) menghadirkan Pelatihan Jurnalistik (Baca: Majalah Dinding BOM-Ger). Sejak itu, saya terkesan dengan nama Identitas, dan dunia jurnalistik, bahkan sampai hari ini.
Tahun 1992, saya diterima di Unhas pada Jurusan Ilmu Komunikasi, program studi Jurnalistik tahun 1992. Usai segala prosesi penerimaan mahasiswa baru yang saya jalani, saya mulai mencari tahu gerangan ikhwal koran kampus yang bernama Identitas itu. Saya mulai rutin membaca lembaran koran ini. Ini tentu merupakan langkah awal yang bagus.
Awal belajar di kampus Unhas Tamalanrea ini, saya tidak banyak mengenal sosok yang menjadi teman-teman kuliah di angkatan saya, baik angkatan di Fisip maupun angkatan di Jurusan Komunikasi. Sebaliknya dan sangat miris, saya hampir tidak kenal oleh mahasiswa-mahasiswa di sekitarku. Dalam pikiran saya waktu itu, bagaimana saya bisa mendapatkan akses ke komunitas PK Identitas jika tidak dikenal.
Hari demi hari saya habiskan, mengamati para tokoh mahasiswa kampus, termasuk mengamati suasana batin kemahasiswaan, pikiran, ideologi dan jiwa yang melingkupi atmosfir kampus Tamalanrea. Saya menemukan itu bukan dari bergaul dengan teman kelas mata kuliah atau teman angkatan, melainkan dengan membaca koran kampus Identitas. Saya mulai akrab dengan sejumlah sosok mahasiswa dan aktivis senior yang punya nama besar.
Wacana kemahasiswaan yang dikembangkan oleh Identitas rupanya berakar dari event mimbar bebas dan forum-forum diskusi kelompok kritis di kampus Tamalanrea. Ibarat sesuatu yang samar, ikhwal Idenitias mulai tersibak. Koran kampus ini rupanya menjadi salah satu wadah diseminasi ide dan gagasan perlawanan terhadap hegemoni kekuasaan orde baru dan militer. Arah pemburuan saya mulai menemui titik terang menuju Identitas. Saya semakin tertantang.
Momen forum Mimbar Bebas ini mengeksploitasi minat saya sedemikian rupa. Foum ini membuat saya seperti berhenti melangkah hanya untuk membiarkan diriku terperanjat kagum. Di sini saya bisa melepaskan berbagai macam kemampuan dan gaya bahasa berpidato untuk memikat audiens. Sejak kelas dua di SMP Muhammadiyah Belawa, saya sering berpidato di hadapan siswa, guru dan pegawai sekolah, dalam bentuk latihan maupun sungguhan. Dengan ini, saya juga ditantang untuk mengasah terus kemampuan improvisasi dalam berorasi, yang sudah pasti harus dibarengi wawasan yang luas dan banyak.
Pusaran majelis Mimbar Bebas inilah yang menyedot aktivitas lainku di kampus. Tahun 1993, saya mulai mengenal banyak berkenalan dan akrab dengan banyak mahasiwa orator handal. Mereka adalah aktivis kampus yang identik dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara dan berpendapat. Meskpun ini hanya di dalam kampus Tamalanrea saja, saya sudah sangat terkesan.
Begitu cepat proses ini, akhirnya saya dipercaya menjadi salah satu orator pada awal tahun 1994. Dalam masa singkat, saya betul-betul menceburkan diri dan larut pada diskusi-diskusi kelompok mahasiswa kritis, lintas fakultas dan lintas angkatan. Setiap sebelum Aksi Mimbar Bebas digelar, pasti didahului dengan diskusi kecil sebagai persiapan. Konten narasi dan usulanku mulai diperhatikan petinggi kelompok diskusi. Peranku pun perlahan beralih dari orator menjadi pemandu aksi mimbar bebas.
Perkembangan yang baik ini membuatku nyaman untuk "bermukim" di rumah yang bernama Forum Mimbar Bebas, salah satu cabang kecil dari aksi perlawanan mahasiswa. Saya merasa mantap di dunia aktivisme mahasiswa dan kampus, yang waktu itu--menurutku, bagus untukku sendiri. Rupanya, jiwa perlawanan yang saya pungut juga itu adalah identitas diri sehingga saya terlihat berbeda dari mahasiswa kebanyakan yang rutin sibuk kuliah dan kerja tugas.
Saya merasa telah menemukan dan sampai pada tujuanku di kampus. Saya tahu ada hal yang kontroversi karena dunia aktivisme tidak pernah manjadi angan-anganku, bukan obsesiku. Namun, saya menemukan pengembangan diri yang luar biasa. Ini juga bukan sesuatu yang ujug-ujug, tiba-tiba. Ada semacam 'gestalt' yang bergerak namun tetap berjejak dari masa-masa dimana saya hidup bersama keluarga di kampung, di Belawa.
Selagi masih dibesarkan di kampung tahun 1980-an, di Belawa, saya kerap mendengar celotehan ayah saya Abd Halim tentang buruknya pemerintahan Soeharto. Beliau selalu menolak menyebut Kahar Muzakkar sebagai pemberontak, kerap memberi simpati kepada kelompok Petisi-50 yang dipimpin Ali Sadikin. Dan juga, beliau selalu lontarkan sorotan negatif terhadap Golongan Karya, mesin politik Orde Baru dan militer.
Wawasan beliau teresebut, mungkin berasal dari kebiasaannya mendengarkan siaran radio Suara Amerika VOA dan Suara Australia pada setiap pagi (usai solat subuh) dan sore (usai salat magrib) lewat jalur gelombang SW (SW1 sampai SW4). Radio Suara Amerika dan Suara Australia ini juga yang menjadi bagian dari keseharianku di rumah, mungkin sejak akhir tahun 70-an.
Suatu ketika ayah saya mendapatkan kiriman majalah TEMPO dari paman di Jakarta, judulnya (HR) "Dharsono ke Pengadilan". Redaksi TEMPO menyembunyikan banyak semangat perlawanan dari kata-kata yang digunakan untuk memberitakan kesalahan mantan pangdam Siliwangi yang berpangkat Letjen ini sehingga dihukum atas tuduhan subversif oleh rezim militer Soeharto. Saat berlaga sebagai mahasiswa aktivis di Kampus Tamalanrea, saya baru bisa memahami dengan baik tentang wacana-wacana perlawanan dari sikap ayah saya yang hanya petani belaka, termasuk tentang kenapa beliau gemar membaca majalah TEMPO tadi itu.
Makassar, 10 Desember 2024
>> Lanjut ke Tiba di Identitas
Komentar