Korban Partai
sumber: Kompas.com |
Suatu pagi di pangkal Mei 2015, saya menyertai seorang
birokrat senior memenuhi panggilan salah satu partai politik (parpol) di Kota
Makassar. Hari masih pagi, jalan AP Pettarani masih lengang. Sekretariat parpol
tingkat provinsi yang dituju juga belum “bangun”.
Dalam cerita ini, saya memberi nama birokrat ini dengan nama
“Petta”. Petta ini, seperti juga figur-figur lain yang hendak menjadi calon
kepala daerah, saya memberinya gelar “calon
korban”. Kenapa korban? Ikut saja cerita ini, akan terjawab mengapa mereka
lebih awal saya menyebutnya calon korban.
Petta ini hendak menjalani ritual pemaparan visi-misi atas
rencananya menjadi calon kepala daerah pada Pilkada Serentak tahun 2015 ini. Pencoblosannya
pada Desember 2015. Sementara Pencalonan pada akhir Juli 2015. Bentangan waktu masih lama dari Mei ke Juli, dari Mei ke
Desember. Masih bisa wafat beberapa kali sebelum mendaftar jadi calon di kantor
KPU kabupaten pada akhir Juli.
Konon, mirip-mirip alkisah. Kesempurnaan mental dan wawasan
sang calon korban saat paparkan
visi-misi di depan panelis partai di tingkatan ini sangat menentukan peluang
untuk dicalonkan partai yang bersangkutan. Berpeluang mendapatkan sabda DPP.
Ini adalah etape kedua rangkaian ritual ini. Etape yang baru
saja berlalu adalah ritual pemaparan visi dan misi di depan panel forum partai yang
sama seperti ini di tingkat pimpinan kabupaten. Kira-kira sepekan sebelum di
tingkat provinsi ini.
Pemaparan visi dan misi di tingkat provinsi ini relatif
lebih komplit ketimbang di kabupaten sebelumnya. Di tingkat ini, panelnya
terdiri dari kalangan akademik dua orang, seorang bergelar doktor dan seorang
lagi bergelar profesor dan doktor.
Anggota panel lainnya terdiri dari praktisi yang ekspert di
bidang pemerintahan, bidang ekonomi makro, bidang ekonomi mikro, dan bidang
pertanian-peternakan. Pokoknya, komplitlah. Mereka itu cerdas bin pintar, dan
dihonor tinggi-tinggi oleh pengurus DPD partai.
Petta dan calon korban lainnya dicecar oleh anggota panel
forum dengan berbagai ragam dan bentuk pertanyaan. Mirip-mirip polisi rahasia
Uni Soviet ketika menginterogasi informannya. Saklek, ketat dan nyinyir. Para
profesor dan doktor yang wawasannya di bawah standar akademik itu, sangat
memukau ketika bertanya.
Tak berapa setelah itu, kawanan figur-figur yang hendak jadi
calon korban itu bergerak bergerombol
menyerbu Jakarta. Di pusat ini, mereka bergerak berpindah-pindah seperti
nelayan mengikuti arus ikan di laut. Mereka digilir, dipelonco oleh
interogator-interogator di depan pimpinan partai tingkat pusat (DPP).
Mereka, termasuk Petta, ikhlas dan pasrah mengikuti
perpeloncoan DPP. Tidak tanggung-tanggung, ada figur yang habiskan waktu di
Jakarta sampai sebulan untuk sambangi 12 kantor DPP partai-partai. Termasuk juga
dua partai yang punya dua kantor DPP di Jakarta, Partai PPP dan Partai Golkar.
Di DPP pada salah satu partai misalnya, juga banyak makelar-makelar
yang siap 24 jam melumat calon korban
seperti Petta. Seorang sekretaris umum partai misalnya, menggerakkan beberapa
makelar sesuai jumlah calon korban yang membutuhkan tanda-tangannya. Demikian
pula sang ketua umum.
Sementara pengurus lainnya di DPP partai memberikan “bimbingan
tes” kepada calon korban untuk
menghadapi Uji Fit dan Proper Test. Saya jadi ingat bimbingan tes orang-orang
yang sedang melamar pekerjaan. Calon korban siap memberikan presentase terbaik
tentang visi-misi mereka.
Para calon korban dan tim berjubel di kantor DPP seperti
calon penerima bantuan Sembako di tepi jalan. Seperti kantor POS yang diserbu
penerima BLT (Bantuan Langsung Tunai).
Apa sebenarnya yang terjadi dengan jalan berliku itu semua?
Itu yang selalu saya tanyakan saat bulan Juli 2015 beranjak berlalu.
Pendaftaran calon di KPU di daerah berlangsung 26 – 28 Juli 2015. Itu artinya, calon korban harus selesaikan URUSAN-nya
di DPP paling lambat 27 Juli, sisa tiga hari lagi.
Saya tulis “urusan” dengan huruf kapital. Kenapa? Calon korban ternyata tidak berurusan
dengan visi-misi di DPP. Visi-Misi itu hanya sampul Buku Cek (chaque). Yang
terpenting diurus oleh calon korban
adalah apa kewajiban yang harus mereka tunaikan berdasarkan nominal yang ada
pada Buku Cek itu.
Seorang calon korban
sudah diharapkan lebih awal di DPP bahwa perkara visi-misinya sudah bagus,
excellent. Hebat bin luar biasa. Dinilai atau tidak dinilai oleh profesor,
doktor, atau master, hasil tetap sama. Di DPP, nilai dalam Buku Cek lah yang
menjadi faktor pengali terhadap nilai visi-misi.
Bila calon korban
gagal memahami isi Buku Cek itu, maka sia-sialah semua visi-misi yang telah
dipaparkan mulai dari tingkat kecamatan hingga tingkat DPP. Sabda DPP tidak
akan keluar jika calon korban belum
lunasi kewajibannya sebagaimana dalam Buku Cek itu.
Apa isi Buku Cek itu? Kesannya seperti kitab suci saja, yang
mungkin memuat dalil keselamatan dan kecelakaan bagi sang calon korban!
Buku Cek itu memuat suatu nilai rupiah, atau dolar. Suatu
ongkos. Suatu tarif. Suatu yang tak bisa dipertukarkan dengan visi-misi. Dengan
sumpah atau janji. Termasuk dengan Loyalitas kepartaian. Juga dengan hasil
survei yang top juga tidak tajir.
Besarannya berapa? Itu juga tidak jelas. Alas argumen suatu
besaran nilai rupiah dalam Buku Cek itu cair-lentur, dan juga liar. Ada nilai
yang dikalikan dengan jumlah kursi di parlemen. Ada juga tanpa argumen sedikit
pun.
Saat itu di Jakarta, 27 Juli 2015. Mata saya menatap kosong
ke arah Petta yang lunglai. Dia duduk diam-kaku seperti karung tinju. Perkaranya,
calon korban partai lainnya yang telah
mendapatkan sabda DPP, telah berangkat menyebar ke seluruh pelosok nusantara
menemukan kantor KPU. Sementara Petta hanya mendapatkan janji DPP yang kian
samar tertinggal roda waktu.
Petta tidak berdaya melihat angka dalam Buku Cek yang harus
ditunaikan, Rp 3 milyar. Itu untuk tiga kursi. Lebih besar dari partai koalisi
lain yang hanya Rp 1 milyar untuk dua kursi.
Pada akhirnya Petta sanggupi nilai Rp 1 milyar per kursi itu.
Tapi kesanggupan itu tidak menolong. Sebab DPP memihak kepada penawar tertinggi
dari calon korban lainnya, yakni Rp
1,5 milyar per kursi. Tunai tanpa embel-embel. Petta tidak sanggup, meskipun ia
jual mahal mertuanya atau ipar-iparnya.
Itulah sebabnya kenapa Petta menjadi diam-kaku seperti
karung tinju penuh pasir yang jatuh ke lantai. Ia shock karena memikirkan
pemaparan visi-misi yang gagah nan cerdas itu. Semua menjadi tidak berarti. Ibarat
menggantang asap di angkasa.
DPP memainkan calon korban seperti halnya dalam permainan Halma,
menggerakkan pion-pion. Jika membosankan, DPP bisa meninggalkan papan Halma dan
melemparkan kembali pion-pion batu itu ke bahu jalan.
“Saya seperti baru saja dihajar bertubi-tubi oleh lawan dan
wasit di ring tinju,” ujar Petta sambil matanya tajam menatap dinding tak
berkedip. Tangannya terus terkepal.
Benar saja. Petta tidak melaju begitu saja hingga ke DPP di
Jakarta. Di dewan pimpinan kecamatan, dirinya dihajar pukulan Jab sebelum diizinkan ber-visi-misi. Di
tingkat kabupaten, Petta dihajar dengan pukulan Straight sebelum dizinkan ber-Visi-misi.
Di tingkat Dewan Pimpinan provinsi, Petta dihajar dengan
pukulan Hook yang cukup mematikan. Di
DPP Jakarta, dihajar dengan pukulan Upper-Cut.
Jenis pukulan yang terakhir ini sering menghasilkan KO bagi yang terkena
pukulan.
Nilai sakit yang ditimbulkan oleh Upper-Cut adalah Rp 1,5 milyar per kursi. Hook senilai Rp 150 juta, Straight
senilai Rp 15 juta, dan Jab senilai Rp
1,5 juta.
Untuk mendapatkan sabda DPP, seorang calon korban harus mendapatkan hajaran dengan empat jenis pukulan
tinju di atas pada setiap level. Bahkan saat masih ada pukulan upper-cut yang tersisa di DPP, sang
calon korban terpaksa disiram air harapan visi-misi seember agar bisa siuman. Dan
kembali bangkit untuk menerima pukulan Upper-cut dari DPP.
Ada juga calon korban
yang tidak dihajar di kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi. Tetapi
mendapatkan PUKULAN AGREGAT di DPP. Dihajar secara random, Jab, Hook, Upper-Cut, Straight, Jab, Straight, dan seterusnya.
Itu baru dari satu partai. Jika harus diusung (dicalonkan
oleh beberapa partai) secara berkoalisi, calon
korban juga harus menjalani hajaran yang serupa itu di partai-partai lain.
Kita berandai-andai saja bahwa calon korban harus diusung oleh oleh tiga partai. Berarti akan
dihajar dengan upper-cut sebanyak paling kurang tiga kali. Begitu juga dengan
pukulan Hook. Pantas rahang dan pelipis Petta tidak karuan.
Kondisi seorang calon, yang juga korban partai—yang telah
dihajar sedemikian rupa untuk mendapatkan sabda DPP agar pendaftaraannya
memenuhi syarat di KPU, tentu hancurnya sudah sampai level 90 persen. Mestinya
sudah lempar handuk putih.
Saya lihat kerusakan Petta belum sampai 90 persen. Ia baru
sampai pada tahap korban partai. Belum korban pilkada. Sudah pasti bahwa korban
pilkada, dengan sendirinya juga adalah korban partai.
Jika Calon Korban lolos menjadi calon kepala daerah dalam
status rusak 90 persen, lantas kemudian kalah, betapa nelangsa risalah hidup
sang korban. Tuhan, semoga mereka jauh dari barang tajam dan racun serangga.
Amin.
Setelah partai-partai, gerombolan berikutnya yang siap menghajar
calon korban:
1. Kawanan Pengacara
2. Kawanan konsultan hukum
3. Kawanan Tim Sukses
4. Kawanan Konsultan Kampanye
5. Kawanan Lembaga Survei
6. Kawanan makelar percetakan
7. Kawanan biro iklan
8. Kawanan ahli nujum
9. Kawanan Pakkappala’-Tallang (penipu)
10. Kawanan Makelar Massa
11. Kawanan pemilik suara.
Selamat berpilkada. Jangan lupa jika menang, beryukurlah
pada Tuhan. Jika kalah, berusujudlah di Mahkamah Konstitusi (MK). Dan, jangan
sekali-kali kalah dengan tenang dan ramah.
Makassar, 7 Agustus 2015
Komentar