Setia Raja
Setiap orang ingin dirinya menjadi raja. “Ingin”, seperti
halnya menghayal, adalah hak setiap orang. Karena keinginan menjadi raja itu, maka
setiap orang ingin menguasai apa saja, termasuk pikiran dan masa depan
orang-orang.
Ya, setiap orang ingin dirinya menjadi raja. Karena itu, ia
ingin dirinya dilayani hingga pelayan kehabisan masa depan dan pikirannya. Ia
ingin, mulai dari bunga pucuk semangka hingga cita-cita anak pelayannya, semua
wajib melayani dirinya.
Dalam perangai raja, kesetiaan adalah syair yang tidak pernah
jelas mula muasalnya. Seperti ujung samudera di tepi horison langit. Ia,
kesetiaan itu, mungkin juga seperti sepotong roti dan secangkir teh panas ketika
bangun terjada dari tidur, saat sendiri di suatu pulau di tengah samudera.
Muncul tanpa kita sadari.
Tapi orang-orang yang berlutut di tepi permadani, dalam ketenangannya,
orang-orang itu menyaksikan kesetiaan berhenti. Kesetiaan tidak seperti yang
saya bayangkan, seperti istirahat atau berkhianat, tetapi yang ini berhenti. Seperti
mahluk yang lamat-lamat mati kelapan, atau juga seperti jantung yang berhenti
begitu saja, lalu hening.
Nah, dalam setiap syair kesetiaan, juga ada ketegangan yang
hampa. Sebuah ketegangan yang bukan suatu dedikasi. Di dalamnya, ada deklarasi
yang diperdengarkan di bawah awan hitam yang berpetir. Di dalamnya, tak ada
bahaya yang harus dihitung dan dicemasi. Kehilangan dalam kesetiaan, telah
terbiasa tidak diakui. Bahkan hingga tidak diketahui.
Kesetiaan yang dikuasai seorang raja, bukanlah gurun pasir yang
tepiannya dibatasi dari rawa, atau dibatasi dari padang rumput. Batas yang
memisahkannya adalah suatu nuansa, dimana tak ada batas yang tegas setipis
kulit bawang yang mengiris warna putih dari hitam, atau mengiris warna hitam
dari putih.
Tapi ingat, janji itu bukan beton yang tidak
berpindah-pindah, alias kokoh. Bukan aksara yang terukir di atas permukaan batu
granit. Janji bisa sebaliknya, seperti perahu yang tidak tertambat. Janji tidak
mengontrol, dan lebih labil dari pada rekaman. Kesetiaan itu tumbuh dari janji-janji
itu, yang umumnya tidak diucapkan dalam kebebasan.
Makanya, kesetiaan bukanlah beton. Bukan hal yang final, yang
dengan mudah diasumsikan, atau disimpulkan peneliti. Kesetiaan itu adalah buku teks
yang tidak mungkin bisa final.
Seorang yang hidup dengan janji, berarti dia hidup dalam
kesetiaan. Pada gilirannya, saat janji itu terjawab, itu berarti hidup keluar dari
kesetiaan. Sikap seseorang terhadap janji itulah yang mengukur sepanjang
bagaimanakah suatu kesetiaan berumur.
Hidup dengan janji, berarti hidup dalam kesetiaan: dikuasai,
melayani, dan bersumpah. Antara raja dan setia, ada kalimat yang tidak kuat.
Makassar, 15 Desember 2014
Komentar