Postingan

Menampilkan postingan dari 1999

Harapan Itu

Gambar
Maqbul Halim Makassar, Nopember 1999 Selama 32 tahun "ummat" Indonesia hidup di bawah kegelapan. Bangsa tidak memerlukan mata sebab tak ada sesuatu yang dapat atau mungkin mereka lihat. Boleh jadi waktu itu "umat" ini tengah dirumahkan dalam perut bumi yang jaraknya dari permukaan bermil-mil. Merenungi nasib kehidupan yang demikian, mereka kiranya membutuhkan "Superman" melebihi atau minimal seperti Nabi Musa. Cerita tentang Bangsa Yahudi yang dikisahkan secara kontemporer dari generasi ke generasi, memang tidak menyertakan arsip penderitaan. Tapi ketidakputusasaan Bangsa Yahudi menekuni penderitaan, tokh akhirnya mengundang Tuhan mengulurkan campur tangannya melalui Nabi Musa. Setelah sukses menderita di bawah penindasan Rezim Fir'aun di Mesir, Bangsa Yahudi kemudian diantar Nabi Musa menuju sebuah tanah yang dijanjikan Tuhan untuk mereka. Tapi Tuhan dalam harapan Bangsa Yahudi ini bukan politikus; Nabi Musa bukan pemimpin parpol, aktivis prodemokrasi...

Tentang Demokrasi

Makassar, Nopember 1999 Selama proses reformasi yang belum menemukan bentuk ini berlangsung, kehendak rakyat selalu menjadi komoditi yang laku dan laris terjual di pasaran politik nasional. Apalagi menjelang Pemilu 99 dan SU MPR RI 99 beberapa waktu lalu, dagangan ini ditawarkan semua partai dan golongan. Membedakan kepentingan rakyat dengan kepentingan partai atau golongan dalam situasi seperti ini sama sulitnya seorang buta sejak lahir untuk membedakan siang dan malam atau hitam dan putih. Sebab, salah satu subtansi prilaku politik memang mengaburkan antara kesetiaan dan pengkhianatan, kepentingan rakyat dan kepentingan kelompok/pribadi, integritas dan ambisi. Refleksi demokrasi dalam diri rakyat itu sendiri harus berhadapan dengan realitas-realitas artikulatif tangan-tangan jahat perwakilan. Lantas, bagaimana suara rakyat yang orisinil itu? Asalnya dari mana? Melalui apa? dan bentuknya bagaimana? Memang agak sulit menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Sebab ada beberapa ...

Catatan Tahun 1999: Tintah Putih di atas Kertas Putih

Oleh Maqbul Halim* Banyak yang telah terjadi sepanjang tahun 1999 lalu. Di atas gerbon waktu tempat kita menumpang, sejumlah kemajuan peradaban yang terartikulasi dalam kehidupan manusia, hadir serempak dalam pengalaman atau pengetahuan kita. Kita sempat melambaikan tangan sembari sesekali mengucapkan pikiran, dan bahkan pula sempat turut bertindak untuk menyatakan eksistensi. Dalam riuhnya perjalanan itu, gerbon kita sering tersentak oleh banyak harapan dan cita-cita yang dijumput menjadi satu untuk sebuah penghidupan yang lebih beradab dan menjanjikan. Banyak juga titik-titik peristiwa itu ada kalanya hendak mengajak kita berhenti pada rentan yang tidak memberi kita waktu untuk menunggu. Cara kita menoleh pun selalu menjadi sebuah teka-teki tanpa argumen irrasional dan rasional. Sebab hampir setiap titik pemberhentian, selalu saja banyak yang menitipkan serpihan dirinya agar tak alpa pada setiap kemajuan dan perubahan pada tiap halte, misalnya. Menjadi pahlawan pada setiap titik itu ...

Pendidikan Itu Biadab

Pemanusiaan manusia, mestilah ditempuh secara beradab juga; Pasti bukan dengan cara tidak beradab (biadab), semisal menggali potensi komersial binatang menurut pola-pola umum-universal (dipandang sebagai benda-benda). Asumsi ini menunjuk kepada suatu proses yang harus ditinjau secara parsial menurut orientasi sejarah dan peradabannya. Proses tersebut, menurut cara modern adalah mengorganisir perubahan pikiran dan mental (spritual) secara sistematis menurut prinsip-prinsip dasar modernisme itu sendiri, hal yang kemudian diistilahkan sebagai pendidikan (educatio). Orientasi sejarah dan peradaban dalam pendidikan tersebut sangat perlu, sebab individu dan masyarakat hanya bisa dijelaskan dan dielaborasi tidak cukup hanya dengan mempersoalkan apa masa depannya, atau apa realitas kekiniannya saja. Meminta seseorang untuk menyebut siapa orang tuanya, dibesarkan di mana, adalah pertanyaan yang sulit kita hindarkan manakala hendak merefleksikan eksistensi kemanusiaannya. Bukankah pertanyaan itu...

WALI KOTA UJUNGPANDANG MENGORDER SWASTA UNTUK MENARIK PAJAK

Ujungpandang, Indonesia 21 Januari 1999 (Laporan Investigasi) Oleh Maqbul Halim Reporter Crash Program UJUNGPANDANG --- Tiga bulan menjelang masa jabatannya berakhir, Wali Kota Madya Ujungpandang, Andi Malik Baso Masry, membuat keputusan yang spektakuler. Mulai 1 November 1998, urusan pajak pembangunan yang menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dikelola oleh swasta, yakni PT Maupa Utama, anak perusahaan Fajar Grup, pemilik penerbitan harian harian Fajar, Ujungpandang. Pajak yang dimaksudkan adalah yang bersumber dari hotel dan restoran. Penanda tangan Memorandum of Understanding dilakukan awal Oktober 1998 oleh Alwi Hamu selaku direktur utama PT Maupa Utama dan Basry selaku Wali Kota Madya. Dalam kesepakatan itu target pencapaian pajaknya ditetapkan sebesar Rp7 milyar per tahun. Bila hasil yang diraup melebihi target, sisanya akan dibagi 25 persen untuk Pemerintah Daerah (Pemda) dan 75 persen untuk PT Maupa Utama. Namun bila target tidak tercapai, PT Maupa tidak mendapat apa-apa ...